Minggu, 05 Juli 2015

Informed Consent dalam Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi KARS 2012

 Hak pasien dalam pelayanan kesehatan telah lama dianggap menjadi hal yang penting dalam pelayanan kesehatan itu sendiri, meskipun hal ini masih merupakan hal baru jika dibandingkan dengan berdirinya fasilitas-fasilitas kesehatan umum di berbagai belahan dunia. Sejak dokumen hak pasien yang pertama kali dideklarasikan dalam American Hospital Association’s A Patient’s Bill of Rights pada tahun 1970 dan kemudian secara internasional didekalarasikan dalam 34th World Medical Assembly di Lisbon, Portugal 1981 kesadaran untuk menempatkan pasien sesuai dengan hak dan kewajibannya terus meningkat. Di Indonesia, perlindungan terhadap hak pasien telah tertuang dalam banyak peraturan perundangan, di antaranya sebagai berikut.
  • UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 53
  • UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 4-8
  • UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52
  • Permenkes RI No 269 tentang Rekam Medis pasal 12
  • UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS pasal 32
Dalam Standar Akreditasi RS terbaru versi KARS 2012, rumah sakit berkewajiban memenuhi standar mengenai Hak Pasien dan Keluarga (HPK). Bagian ini bahkan termasuk dalam hal yang diwajibkan baik dalam program akreditasi reguler maupun program khusus yang diperuntukkan untuk RS tipe C dan D. Dalam standar tersebut, ditekankan bahwa rumah sakit perlu membangun kepercayaan & komunikasi terbuka dengan pasien & keluarga untuk memahami & melindungi nilai budaya, psikososial serta nilai spiritual setiap pasien. RS sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan harus menyadari bahwa setiap pasien memiliki keunikan dengan kebutuhan, kekuatan, nilai-nilai, dan kepercayaan masing-masing.
Salah satu hak pasien yang sangat penting adalah “memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya. “ Hal ini tertuang dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS pasal 32. Bagian ini merupakan isi dari Standar HPK 6 di mana mengharuskan pernyataan persetujuan (informed consent ) dari pasien didapat melalui suatu proses yang ditetapkan RS & dilaksanakan.
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006, disebutkan bahwa setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, mensyaratkan persetujuan (otorisasi) dari yang bersangkutan. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Dalam standar akreditasi RS HPK.6 RS perlu menetapkan daftar tindakan yg memerlukan informed consent tertulis, tindakan ini meliputi:
  • Semua tindakan pembedahan & invaisif
  • Semua tindakan anestesi & sedasi sedang & dalam
  • Semua Pemberian darah & produk/ komponen darah
  • Semua pengobatan berisiko tinggi
Dalam melakukan informed consent, Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan kedokteran menjelaskan bahwa dokter/ dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter/ dokter gigi dari tim dokter yang merawat pasien berkewajiban memberikan penjelasan kepada pasien mengenai informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan.  Hal ini berarti, tidak ada petugas lain selain dokter/ dokter gigi yang memiliki kewenangan memberikan informed consent. Petugas lain yang turut merawat pasien secara langsung dapat membantu dalam memberikan penjelasan sesuai kewenangannya. Adapun bila dokter/ dokter gigi yang bersangkutan berhalangan, maka pemberian penjelasan dapat didelegasikan kepada dokter/ dokter gigi lain yang berkompeten.
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006, penjelasan yang diberikan dokter dalam informed consent meliputi: diagnosis medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan dijalaninya. Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka memperoleh persetujuan tindakan medik, baik dokter atau dokter gigi maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban untuk saling memberi informasi.  Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan memahami maknanya (well informed), pasien diharapkan dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya.
Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 juga menjelaskan bahwa, persetujuan dapat diberikan apabila pasien merupakan individu yang berkompeten. Pasien dikatakan kompeten apabila termasuk sebagai pasien dewasa atau bukan anak-anak, telah atau pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami retardasi mental, dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas. Berdasarkan UU no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia l18 tahun atau lebih dianggap sudah bukan anak-anak. Sedangkan dalam KUHP, usia 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa. Apabila pasien tidak cakap memberikan persetujuan, maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat atau pengampunya. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, atau saudara-saudara kandung.
Dalam Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 juga dijelaskan bahwa dalam kondisi di mana pasien tidak mampu memberikan persetujuan dan tidak memiliki pendamping, maka dengan tujuan untuk penyelamatan hidup (life saving) atau mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat, tindakan medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi, persetujuan harus diberikan oleh pasangannya (suami/ istri).  (EdTha)

Referensi:
  1. Patient’s Bill of Rights, 2014. Diakses dari www.cancer.org pada 28 April 2015.
  2. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Di Tingkat Provinsi.
  3. Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
  4. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
  5. WMA Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient. Diakses dari http://www.wma.net/en/30publications/10policies/l4/ pada 28 April 2015.